Bogor, ASPIRA
Ratusan karyawan PT Tri Banyan
Tirta Mengadukan nasib mereka dan ratusan karyawan lainnya yang telah di
rumahkan oleh pihak perusahaan
kepada pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Bogor, pasalnya perusahaan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)
merk “ALTO” ini telah menelantarkan karyawan dengan alas an dirumahkan tetapi
sampai saat ini belum jelas nasibnya.
Menurut Koordinator aksi, Aksi demo yang dilakukan Jum”at tanggal 20
Februari lalu ini merupakan kali
ketiganya setelah sebelumnya aksi yang sama dilakukan di depan Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) Kabupaten Bogor, dan hari ini untuk meminta anggota DPRD serta
Bupati Bogor, H. Rahmat Yasin (RY) untuk menindak tegas terhadap pengusaha
tersebut karena dinilai sewenang-wenang terhadap ratusan nasib para buruh ini.
Setidaknya ada 11 poin tuntutan
yang diajkan para karyawan ini, antara lain, Meminta untuk menghapus sistim karyawan Harian
lepas menjadi karyawan tetap, karena keberadaan karyawan epas di perusahaan ini
sudah bertahun-tahun namun belum dijelas nasibnya, Pemberlakuan Upah Minimun Kabupaten Bogor
(UMK) tahun 2013 sesuai SK Gubernur Jawa Barat (Jabar), Agar perushaan PT. Tri
Banyan Tirta memberikan cuti hamil, Tahunan, Cuti, Melahirkan dan Cuti Haid, Agar
Perusahaan mengikutsertakan seluruh karyawan ke program Jamsosotek Paket A dan paket B, Memberikan uang makan sebesar Rp. 10 ribu perhari, uang transport
Rp. 12 ribu perhari, Tunjangan Masa kerja Rp. 100 ribu rupiah perbulan,
tunjangan bonus setiap akhir tahun, tun jangan premi hadir Rp, 100 ribu
perbulan dan tidak menghalangi kebebasan berserikat bagi karyawan/buruhnya.
Demikian tuntutan yang di ajukan parah buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) ini saat di temui ASPIRA di sela aksi demonya.
Namun sayangnya, aksi mereka ini
dirasa sia-sia dikarenakan hingga lebih kurang pukul 16:30 WIB tidak satupun
perwakilan dari Penmkab Bogor maupun anggota dewan yang menemuai para buruh
ini, ketika ASPIRA mendatangi kantot DPRD Kabupaten Bogor ingin
mengkonfirmasikan masalah ini, sejumlah anggota dewan tidak berada ditempat,
dari informasi yang didapatkan bahwa beberapa anggota dewan banyak mengikuti
kampaye Pasangan Cagub dan Cawagub Jabar yang mereka usung. “Anggota dwewan
pada kosong pak, tadi pagi sich ada beberapa tetapi mereka pada keluar lagi.
Sebenarnya hari ini ada agenda rapat, berhubung anggota dewan sebagian besar
tidak ada akhirnya rapat tidak jadi”, ujar sumber kepada ASPIRA yang di temui
di areal Parkir DPRD Kabupaten Bogor pukul 13:00 wib beberapa waktu lalu.
Di tempat terpisah, Kepala Bidang
Pengawasan Ketenagakerjaan pada Disnakertrang kabupaten Bogor, Tagor Hutahaean
mengatakan, memang benar sebelumnya karyawab PT, Tti Banyan Tirta melakukan
aksi demo kemarin di kantornya, mereka menuntut kebijakan perusahaan tersebut
untuk memperhatikan nasib mereka terutama yang bersatatus karyawan harian lepas
untuk jadi karyawan tetap. “Bila kita mengacu pada peraturan yang ada, bila di
katakana karyawan lepas berarti mereka yang dipekerjakan selama dalam seminggu
dam maksimal 14 hari dalam sebulan. Disamping itu ada perjanjian kerja yangf
mereka sepakati yaitu Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) yang di sebut karyawan harian lepas dan perjanjian kerja
Tidak Tentu (PKWTT) yang di sebut karyawan Kontrak dan telah tertuang di dalam
undang-undang ketenaga kerjaan dan diperkuat oleh Kepres no 100 tahun 2004 dan
Kepmen nomor 06 tahun 2005 tentang ketentuang bahwa tidak boleh melibihi batas
kerja 3 bulan untuk setiap bulan mereka memiliki 20 hari kerja tidak boleh
lebih. Jika karyawan tersebut masih dipekerjakan diluar batas itu perusahaan harus
menaikan status pekerja tersebut menjadi karyawan tetap dan untuk pengawasan
telah di atur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1981 guna mengawasi peran aktif
pengushaan dalam mentaati peraturan yang ada, bila ada perusahaan/pengusaha
yang masih diluar batas itu agar segera melaporkan kepada dinas guna melakukan
kroscek terhadpa pengusahan tersebut” , jelas Tagor.
Tetapi dikatakan Tagor,
kebanyakan implementasi undang-undang ini tidak tereaslisai dengan baik
dilapangan, sebab masih banyak ditemukakan pengusahan nakal dilapangan dengan
memperlakukan buruhnya sewenang-wenang dengan berbagai alas an, seperti
dirumahkan dansebagainya untuk menghindari pembayaran pesangon kepada karyawan
jika dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka mereka kebanyakan mengambil
kata merumahkan. “Seperti yang terjadi di PT. Tri Banyan Tirta ini, sejumlah karyawan
mereka rumahkan, akan tetapi mereka membuka lowongan kerja baru. Nah kita pun
tanda tanya, apakah mereka ini merumahkan karyawan karena aktivitas produksi
mengurang atau hanya sekedar menghindari pesangon? Karena jika mereka melakukan
PHK maka pesangon harus diberikan namun dengan bahasa di rumahkan para karyawan
i9ni tidak menunutut pesangon kartena mereka berharap perusahaan akan
memperkerjakan mereka kembali. Jika yang terjadi di perusahaan ini sudah jelas,
apa permasalahannya, maka dari itu kami membentuk tim guna melakukan pengawasan
terhadap semua perusahaan yang ada di Kabupaten Bogor”, paparnya menjelaskan.
Sementara itu kata Tagor,
Kontribusi pemerintah dalam menangani secara yuridis formal tidak berlaku dan
terkesan cacat hukum artinnya tidak ada
UMK RP. 2.002.000 karena pengesahan UMK ini dikatakan juga bagi perusahaan yang
tidak mampu bisa ditangguhkan, karena jika bisa di tangguhkan bisa berdampak
kepada perusahaan lain yang ikut-ikutan memberlakukan hal yang sama, padahal
perusahaan itu dinilai mampu, karena ada beberapa perusahaan yang merasa bisa
menangguhkan permasalahan tersebut. “Berarti ini bukan UMK lagi, karena
dikatakan UMK adalah berarti Upah Minimum berarti kebutuhan dan tidak bisa di
tangguhkan, karena yang namanya minimum harus segera dilaksanakan mengingat
kebutuhan karyawan, jika di bayarkan dibawah jumlah itu bukan minimum melainkan
dibawah minimum sehingga untuk kebutuhan pekerja tersebut sudah tidak layak
lagi”, katanya.
Mengenai kesejahteraan karyawan belum
sepenuhnya karyawan mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan
kebanyakan perusahaan menghindari adanya PHK karena akan berimbas dalam
pemberian hak karyawan tersebut berpa pesangon sehingga penggnaan pasal dalam
pearturan ketenakerjaan baik dalam undang-undang maupum peraturann pemerintah
sangat kontradiktif dengan kenyataan dengan keadilan yang didapatkan para buruh
dilapangan. “Didalam undang-undang nomor 02 tahun 2004 tentang penyelesaian
peselisian seharusnya dapat dilakukan secara cepat,tepat dan murah bagi suatu
daerah industrial di kabupaten Bogor masih banyak penyimpangan yang lakukan
oleh oknum yang kita sebut “Penjahat Kerah Putih”. Padahal seharusnya procedure
orientade pengusaha yang baik tidak akan menyengsarakan karyawannya dan ini
merupakan jawaban setelah saya melakukan studi banding di beberapa perusahaan
sukses dan berhasil, karena bagi mereka lboh memilih mempertahankan kinerja
karyawan yang lama dari pada menadapat karyawanb yang baru, sebab karyawan yang
lama sudah mampuni bidang skill dalam menguasai jenis pekerjaan yang diberikan
padanya dan ini merupakan sebuah omset besar buat mereka”, tuturnya.
Sementara kebebasan berserikat
bagi buruh sudah di atur dalam keputusan presiden nomor 83 tahun 1998, dia
mengatakan, di asia tenggara termasuk Indonesia belum terlaksana dengan baik.
Sebagai contoh di Jepang belum ada tetapi mereka sangat menghargai keserikatan
walaupun ini tidak didukung oleh kepatuhan terhadap undang-undang sebab mbagi
mereka tanpa menghargai berarti Negara akan susah untuk maju. (Sumburi/Halimah)