Kamis, 18 Oktober 2012

Rentetan Konflik Dana Mbojo Yang Tidak Kunjung Usai


Jakarta, ASPIRA
Belum hilang dari ingatan kerusuhan Lambu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima beberapa bulan lalu hingga banyak korban jiwa berjatuhan, baru baru ini kembali bergejolak kerusuhan  horizontal di Dana Mbojo ( Tanah Bima) antara masyarakat Desa Roi dan Desa Roka tanggal 1 Oktober 2012 hingga menewaskan satu korban tewas saat di larikan ke puskesmas terdekat dan di susul aksi pembakaran Dusun Godo Desa Dadi Bou oleh masyarakat Desa Samili Kecamatan Woha yang menghabiskan separuh warga  dusun tersebut harus kehilangan tempat tinggal mereka dan juga korban  luka bakar atas peristiwa ini, yang menambah panjang konflik Dana Mbojo seolah tak kunjung usai.

Menurut saksi mata dilapangan yang di hubungi ASPIRA melalui telepon selulernya mengatakan, Peristiwa ini terjadi jauh sebelum peristiwa Desa Roi dan Desa Roka karena isu adanya dukun santet dari warga Dusun Godo yang menyebabkan salah satu warga Desa Samili meninggal, kejadian ini mernimbulkan saling ancam antar dua desa tersebut, dikatakan sumber yang namanya tidak mau dipublikasikan ini, sebelumnya sudah ada petugas dari Kepolisian yang menjaga, namun karena Desa Roi dan Desa Roka bergejolak petugas keamanan yang sejatinya mengamankan warga Dusu Godo dan Samili akhirnya harus di siagakan di Desa Roi dan Roka. Kesempatan ini yang di manfaatkan oleh warga Desa Samili untuk menyerang warga Dusun Godo. Alhasil melihat minimnya petugas  keamanan yang ada, membuat Warga Desa Samili leluasa melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah warga Dusu Godo, sementara petugas keamanan yang tersisa yang masih siaga tidak dapat berbuat banyak ketika aksi ini terjadi dan hanya bisa memberikan intruksi kepada warga Dusu Godo untuk mengungsi karena tidak bisa berbuat banyak jika melihat jumlah masa dan petugas yang ada tidak seimbang.


Atas peristiwa ini, Muncul kecaman dari berbagai pihak yang menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut, berbagai bentuk kacaman yang mencul dengan memberikan kritikan pedas atas kinerja Pemerintah Kabupaten Bima  di bawah Pimpinan Ferry Zulkarnaen yang terkesan lamban mengatasi berbagai peristiwa kerusuhan di Bima hingga sampai jatuh korban jiwa. Seperti diungkapkan pengguna facebook dalam menanggapi peristiwa ini mengukapkan bahwa pemerintah Kabupaten Bima dan para petinggi kemanan disana terkesan lamban memberikan perintah hingga sampai terjatuh korban jiwa. “Penyelesaian konflik di Bima dari dulu tidak berjalan lancar, bukannya menyalakan aparat yang bertugas tetapi perintah pimpinan yang lamban,itulah yang terjadi di Godo yang seharusnya bisa di antisipasi”, tegasnya. Rentetan peristiwa yang terjadi ini juga merupakan kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menerima isu-isu yang beredar yang sering di telan mentah-mentah hingga sampai menimbulkan konflik yang luar biasa, padahal isu-isu tersebut belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, kalau sudah terjadi peristiwa seperti ini masyarakat itu sendiri yang akan menjadi korban.

Ketuam Umum, Forum Komunikasi Kasabua Ade ( FoKKA) Jakarta, Drs. Muhammad  Latief, M.Si pun angkat bicara atas peristiwa ini. Latif Mengatakan, rasa cinta tanah air dan pemahamannya sudah mulai pudar di tengah masyarakat saat ini yang akhirnya manusia tidak lagi merasa dirinya mahluk Tuhan yang memiliki satu potensi untuk saling menghargai satu dengan yang lain. “ Cinta tanah air merupakan harga mati terhadap bangsa dan negara Republik Indonesia bagi rakyatnya, namun hampir semua masyarakat di republik ini sudah mulai bergeser terhadap nilai-nilai etika dan moral. Adapun penyebabnya adalah, yang pertama, manusia tidak lagi merasa dirinya sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai satu potensi yang tinggi untuk saling menghargai satu dengan yang lain. Dan yang kedua, rasa kemanusiaan sebagai bangsa yang mempunyai budaya dan etika untuk menghargai pandangan, pendapat atau hak-hak orang lain sudah mulai luntur sehingga hal ini menjadi satu titik kelemahan yang berakibat munculnya kesenjangan-kesenjangan yang ada pada kehidupan bermasyarakat,” ungkapnya.

Dia juga mengatakan, Dalam pendangan berpolitik, kecerdasan emisional  sudah tidak lagi digunakan sebagai landasan untuk memahami perbedaan dan pendapat orang lain yang seharusnya perbedaan itu merupakan sebuah harmonisasi perpolitikan malah justru dianggap sebuah ancaman bagi kubuh tertentu yang akhirnya menimbulkan konflik. “Seperti didalam berpolitikan, kita seharusnya menghargai perbedaan ,kalau kecerdasan emosional untuk memahami bagaimana perbedaan pendapat orang lain sudah tidak lagi dianggap sebagai penghargaan dan justru di anggap musuh ini yang kadang menjadi pemicu, seharusnya perbedaan ini diberikan penghargaan yang tinggi, karena setiap perbedaan akan menghasilkan keharmonisan tetapi kadang-kadang sebuah pendapat yang tidak tersampaikan yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat bahkan sampai pada pengrusakan asset-aset yang menjadi kepentingan public,” tuturnya.
Dijelaskannya, “Keributan-keributan yang terjadi di Bima pada saat ini akibat sikap anarkis yang telah menghilangkan citra Dana Mbojo (Tanah Bima) pada tempo dulu yang satun dan agamais tidak ada satupun konflik-konflik yang berarti karena pada waktu itu hampir di setiap rumah terdapat pengajian, dari anak kecil hingga dewasa dan bahkan orang pada setiap habis magrib, dan masih ada guru-guru ngaji dan tokoh masyarakat yang di segani sehingga setiap  ada permasalahan selalu bisa diredam agar tidak sampai timbul konflik yang berakhir sampai jatuhnya korban jiwa seperti sekarang ini,”jelasnya
 “Seperti Tente kecamatan Woha yang menjadi barometer  pusat perdagangan  dari berbagai Desa lain seperti,Desa Sambori, Desa Ngali, Desa Ncera, Desa Renda, Desa Samili, Desa Daibou, Desa Donggobolo dan beberapa desa lainnya tetapi tidak ada  konflik yang sifatnya menyangkut masalah kriminal atau konflik yang berakar pada kesenjangan  sosial, apa lagi sampai pada perusakan aset pemerintahan , pembakaran rumah dan hal-hal yang bersifat merugikan banyak pihak. Kenapa timbulnya sekarang, ini yang menjadi pertanyaan besar kita, penyebabnya adalah krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan Pemkab Bima, sudah mulai pudar, bukan hanya di birokrasi pemerintahan tetapi hal ini terjadi juga kepemimpinan di bidang agama, tokoh masyarakat yang mempuyai satu kekuatan ilmu-ilmu agama, ilmu psikologis serta kekuatan kemampuan memberikan contoh kepada masyarakat tentang bagaimana kehidupan religius keagamaan, pemahaman moral dan etika dan budaya. Sehingga masyarakat tidak akan berani berbuat untuk melanggar etika dan moral karena peranan tokoh agama, guru ngaji, pendidik dan tokoh masyarakat pada waktu itu sangat disegani, namun saat ini muncul  generasi baru yang mempunyai intelektul yang harusnya  bisa untuk mengdepankan pengembangan dibidang akidah agama, Nilai-nilai spiritual.
Hal ini juga kurangnya komunikasi Pemkab Bima dalam hal ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnaen kepada masyarakat yang seharusnya dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap perkembangan pembagunan yang ada di wilayah tersebut seakan terlupakan, setiap keinginan masyarakat tidak terserap dengan baikm, akhirnya menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat itu sendiri, apalagi janji-janji politik yang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Fungsi DPRD sebagai pengontrol kinerja pemerintah harusnya terus melakukan pengawasan terhadap langkah pemerintah, apakah keinginan atau kebutuhan masyarakat sudah terpenuhi atau tidak? Sementara di bidang pembangunan kepariwisataan seharusnya bisa menjadi prioritas utama, karena Dana Mbojo memiliki banyak wisata alam dan wisata sejarah yang patut di jual guna menarik devisa daerah, seprti, Wadu Pa’a (batu ukir) Desa Sowa, Mada Pangga, Pulau Ular dan masih banyak beberapa situ pra sejara lainnya”, paparnya
Latif menharapkan,  peristiwa yang terjadi Di Dusun Godo,DesaRoidan DesaRoka ini menjadi yang terakhir, karena kalau kita balik kebelakang Dana Mbojo memiliki motto “ Maja labo Dahu Kasabua Ade, Kasabua Nggahi, Kasabua Rawi kemudian Ndi Maka Taho Rasa Ma Labo Dou, Mbolo Labo Dampa”, Setiap persoalan dimusyawarakan, yang tidak baik jangan langsung ditelan metah-mentah kemudian main sikat karena itu bukan merupakan karakter Dou Mbjo (Orang Bima). (Sumburi )