Jakarta, ASPIRA
Belum hilang dari ingatan kerusuhan
Lambu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima beberapa bulan lalu hingga banyak korban
jiwa berjatuhan, baru baru ini kembali bergejolak kerusuhan horizontal di Dana Mbojo ( Tanah Bima) antara
masyarakat Desa Roi dan Desa Roka tanggal 1 Oktober 2012 hingga menewaskan satu
korban tewas saat di larikan ke puskesmas terdekat dan di susul aksi pembakaran
Dusun Godo Desa Dadi Bou oleh masyarakat Desa Samili Kecamatan Woha yang menghabiskan
separuh warga dusun tersebut harus
kehilangan tempat tinggal mereka dan juga korban luka bakar atas peristiwa ini, yang menambah
panjang konflik Dana Mbojo seolah tak kunjung usai.
Menurut saksi mata dilapangan yang
di hubungi ASPIRA melalui telepon selulernya mengatakan, Peristiwa ini terjadi
jauh sebelum peristiwa Desa Roi dan Desa Roka karena isu adanya dukun santet
dari warga Dusun Godo yang menyebabkan salah satu warga Desa Samili meninggal, kejadian
ini mernimbulkan saling ancam antar dua desa tersebut, dikatakan sumber yang
namanya tidak mau dipublikasikan ini, sebelumnya sudah ada petugas dari Kepolisian
yang menjaga, namun karena Desa Roi dan Desa Roka bergejolak petugas keamanan
yang sejatinya mengamankan warga Dusu Godo dan Samili akhirnya harus di
siagakan di Desa Roi dan Roka. Kesempatan ini yang di manfaatkan oleh warga
Desa Samili untuk menyerang warga Dusun Godo. Alhasil melihat minimnya petugas keamanan yang ada, membuat Warga Desa Samili
leluasa melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah warga Dusu Godo,
sementara petugas keamanan yang tersisa yang masih siaga tidak dapat berbuat
banyak ketika aksi ini terjadi dan hanya bisa memberikan intruksi kepada warga
Dusu Godo untuk mengungsi karena tidak bisa berbuat banyak jika melihat jumlah
masa dan petugas yang ada tidak seimbang.
Atas peristiwa ini, Muncul kecaman
dari berbagai pihak yang menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut, berbagai
bentuk kacaman yang mencul dengan memberikan kritikan pedas atas kinerja
Pemerintah Kabupaten Bima di bawah
Pimpinan Ferry Zulkarnaen yang terkesan lamban mengatasi berbagai peristiwa
kerusuhan di Bima hingga sampai jatuh korban jiwa. Seperti diungkapkan pengguna
facebook dalam menanggapi peristiwa ini mengukapkan bahwa pemerintah Kabupaten
Bima dan para petinggi kemanan disana terkesan lamban memberikan perintah
hingga sampai terjatuh korban jiwa. “Penyelesaian konflik di Bima dari dulu
tidak berjalan lancar, bukannya menyalakan aparat yang bertugas tetapi perintah
pimpinan yang lamban,itulah yang terjadi di Godo yang seharusnya bisa di
antisipasi”, tegasnya. Rentetan peristiwa yang terjadi ini juga merupakan
kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menerima isu-isu yang
beredar yang sering di telan mentah-mentah hingga sampai menimbulkan konflik
yang luar biasa, padahal isu-isu tersebut belum tentu dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya, kalau sudah terjadi peristiwa seperti ini masyarakat itu
sendiri yang akan menjadi korban.
Ketuam Umum, Forum Komunikasi
Kasabua Ade ( FoKKA) Jakarta, Drs. Muhammad Latief, M.Si pun angkat bicara atas peristiwa
ini. Latif Mengatakan, rasa cinta tanah air dan pemahamannya sudah mulai pudar
di tengah masyarakat saat ini yang akhirnya manusia tidak lagi merasa dirinya mahluk
Tuhan yang memiliki satu potensi untuk saling menghargai satu dengan yang lain.
“ Cinta
tanah air merupakan harga mati terhadap bangsa dan negara Republik Indonesia
bagi rakyatnya, namun hampir semua masyarakat di republik ini sudah mulai
bergeser terhadap nilai-nilai etika dan moral. Adapun penyebabnya adalah, yang
pertama, manusia tidak lagi merasa dirinya sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai
satu potensi yang tinggi untuk saling menghargai satu dengan yang lain. Dan
yang kedua, rasa kemanusiaan sebagai bangsa yang mempunyai budaya dan etika
untuk menghargai pandangan, pendapat atau hak-hak orang lain sudah mulai luntur
sehingga hal ini menjadi satu titik kelemahan yang berakibat munculnya
kesenjangan-kesenjangan yang ada pada kehidupan bermasyarakat,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan,
Dalam pendangan berpolitik, kecerdasan emisional sudah tidak lagi digunakan sebagai landasan
untuk memahami perbedaan dan pendapat orang lain yang seharusnya perbedaan itu
merupakan sebuah harmonisasi perpolitikan malah justru dianggap sebuah ancaman
bagi kubuh tertentu yang akhirnya menimbulkan konflik. “Seperti didalam
berpolitikan, kita seharusnya menghargai perbedaan ,kalau kecerdasan emosional
untuk memahami bagaimana perbedaan pendapat orang lain sudah tidak lagi
dianggap sebagai penghargaan dan justru di anggap musuh ini yang kadang menjadi
pemicu, seharusnya perbedaan ini diberikan penghargaan yang tinggi, karena
setiap perbedaan akan menghasilkan keharmonisan tetapi kadang-kadang sebuah
pendapat yang tidak tersampaikan yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat
bahkan sampai pada pengrusakan asset-aset yang menjadi kepentingan public,”
tuturnya.
Dijelaskannya, “Keributan-keributan
yang terjadi di Bima pada saat ini akibat sikap anarkis yang telah
menghilangkan citra Dana Mbojo (Tanah Bima) pada tempo dulu yang satun dan
agamais tidak ada satupun konflik-konflik yang berarti karena pada waktu itu
hampir di setiap rumah terdapat pengajian, dari anak kecil hingga dewasa dan
bahkan orang pada setiap habis magrib, dan masih ada guru-guru ngaji dan tokoh
masyarakat yang di segani sehingga setiap
ada permasalahan selalu bisa diredam agar tidak sampai timbul konflik
yang berakhir sampai jatuhnya korban jiwa seperti sekarang ini,”jelasnya
“Seperti Tente kecamatan Woha yang menjadi
barometer pusat perdagangan dari berbagai Desa lain seperti,Desa Sambori,
Desa Ngali, Desa Ncera, Desa Renda, Desa Samili, Desa Daibou, Desa Donggobolo
dan beberapa desa lainnya tetapi tidak ada konflik yang sifatnya menyangkut masalah kriminal
atau konflik yang berakar pada kesenjangan
sosial, apa lagi sampai pada perusakan aset pemerintahan , pembakaran
rumah dan hal-hal yang bersifat merugikan banyak pihak. Kenapa timbulnya
sekarang, ini yang menjadi pertanyaan besar kita, penyebabnya adalah krisis
kepercayaan terhadap kepemimpinan Pemkab Bima, sudah mulai pudar, bukan hanya
di birokrasi pemerintahan tetapi hal ini terjadi juga kepemimpinan di bidang
agama, tokoh masyarakat yang mempuyai satu kekuatan ilmu-ilmu agama, ilmu
psikologis serta kekuatan kemampuan memberikan contoh kepada masyarakat tentang
bagaimana kehidupan religius keagamaan, pemahaman moral dan etika dan budaya. Sehingga
masyarakat tidak akan berani berbuat untuk melanggar etika dan moral karena
peranan tokoh agama, guru ngaji, pendidik dan tokoh masyarakat pada waktu itu
sangat disegani, namun saat ini muncul
generasi baru yang mempunyai intelektul yang harusnya bisa untuk mengdepankan pengembangan dibidang
akidah agama, Nilai-nilai spiritual.
Hal ini juga kurangnya
komunikasi Pemkab Bima dalam hal ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnaen kepada
masyarakat yang seharusnya dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap
perkembangan pembagunan yang ada di wilayah tersebut seakan terlupakan, setiap
keinginan masyarakat tidak terserap dengan baikm, akhirnya menimbulkan
kesenjangan sosial antar masyarakat itu sendiri, apalagi janji-janji politik
yang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Fungsi DPRD sebagai pengontrol
kinerja pemerintah harusnya terus melakukan pengawasan terhadap langkah
pemerintah, apakah keinginan atau kebutuhan masyarakat sudah terpenuhi atau
tidak? Sementara di bidang pembangunan kepariwisataan seharusnya bisa menjadi
prioritas utama, karena Dana Mbojo memiliki banyak wisata alam dan wisata
sejarah yang patut di jual guna menarik devisa daerah, seprti, Wadu Pa’a (batu
ukir) Desa Sowa, Mada Pangga, Pulau Ular dan masih banyak beberapa situ pra
sejara lainnya”, paparnya
Latif menharapkan, peristiwa yang terjadi Di Dusun Godo,DesaRoidan
DesaRoka ini menjadi yang terakhir, karena kalau kita balik kebelakang Dana
Mbojo memiliki motto “ Maja labo Dahu
Kasabua Ade, Kasabua Nggahi, Kasabua Rawi kemudian Ndi Maka Taho Rasa Ma Labo
Dou, Mbolo Labo Dampa”, Setiap persoalan dimusyawarakan, yang tidak baik
jangan langsung ditelan metah-mentah kemudian main sikat karena itu bukan
merupakan karakter Dou Mbjo (Orang Bima). (Sumburi
)